Konon di suatu masa yang lampau, ketika nenek moyang manusia masih menjadi buruan singa-singa di padang sabana Afrika, nenek moyang kita mulai menciptakan dan menggunakan perkakas pertama dalam sejarah panjang evolusi manusia, yaitu tongkat kayu. Tongkat kayu adalah alat yang sangat revolusioner, dia bisa memberi jarak antara manusia dengan objek lain yang bisa jadi berbahaya untuk manusia. Singa dan harimau memang sangat kuat dan bergigi tajam, tetapi dia perlu mendekati langsung mangsanya untuk bisa menggunakan kekuatannya. Tentunya kita semua pernah melihat bagaimana singa bisa dihajar habis-habisan oleh buruannya karena salah memperkirakan kekuatan lawan. Tongkat kayu merubah hal ini, sebuah revolusi luar biasa dalam sejarah alam semesta, atau paling tidak sejarah bumi. Dengan kapasitas otak yang masih jauh dari manusia modern, tongkat kayu sangat membantu nenek moyang manusia untuk mengidentifikasi dan memperkirakan kekuatan objek lain sehingga bisa menghindari kesalahan yang dialami singa.
Tapi apakah tongkat kayu kunci kesuksesan manusia? Sepertinya tidak. Kita saat ini juga tahu bagaimana simpanse dan orang utan juga bisa memanfaatkan tongkat kayu. Bahkan orang utan bisa memanfaatkannya untuk memancing ikan. Jika tongkat kayu saja cukup untuk menghantar nenek moyang manusia untuk maju tentunya orang utan juga hampir sama majunya dengan kita dan kita tahu bukan hal itu yang terjadi.
Alat kedua yang merubah segalanya dan menjadi kunci sukses manusia adalah tali. Kemampuan membuat dan menggunakan tali memungkinkan manusia menyatukan dua objek menjadi satu dengan fungsi atau potensi yang baru. Batu dipasangi tali yang dibuat dari akar sudah menjadi senjata yang sangat berbahaya berupa slingshot. Kayu-kayu yang disatukan dengan tali memungkinkan manusia menciptakan struktur yang lebih permanen sehingga tidak perlu menghabiskan waktu dan tenaga seperti orang utan dengan sarangnya. Tali membuat benda-benda yang sebelumnya sudah berguna menjadi jauh lebih berguna.
Tongkat memisahkan, tali menyatukan.
Sejarah panjang perjalanan manusia menghantarkan kisah ini ke masa sekarang, ke masa kita. Memisahkan diri dengan yang lain dan menyatukan komponen-komponen kehidupan adalah hal yang kita lakukan hampir setiap hari. Sadar atau tidak aktifitas kita secara esensial tidak jauh berubah sejak nenek moyang kita belajar menggunakan tongkat dan tali. Ketika kita menemukan sesuatu yang asing entah itu orang lain, sebuah pekerjaan baru, tugas baru, tempat yang baru, kita selalu berusaha untuk menjaga jarak, menciptakan ruang yang aman yang memungkinkan kita untuk melakukan manuver jika sesuatu yang baru itu adalah ancaman. Di sisi yang lain kita juga berusaha semaksimal mungkin mengikat hal-hal yang menurut kita bermanfaat untuk kita. Keinginan untuk punya rumah sendiri dan berhenti ngontrak, keinginan untuk menikah, membeli sesuatu, mengunci rumah atau kamar, membuat password dan pin, menabung di bank, semua itu tidak lain adalah manifestasi hasrat primitif kita untuk mengikat.
Kehadiran media sosial memberi manusia sebuah tongkat dan tali yang baru. Tongkat yang semakin panjang yang memungkinkan kita memiliki jarak aman dengan benda yang ingin kita poke/tunyuk (i have no idea how to express this in Bahasa Indonesia). Disisi lain kita juga bisa mengikatkan diri ke banyak hal dengan lebih mudah. Mau merasa jadi bagian dari ISIS gampang, mau kekiri-kirian gampang, mau jadi sok moderat bijak membumi kerakyatan pancasilais juga gampang. Semua di dalam genggaman mouse, mousepad, touchscreen or whatever input devices anda. Proses nunyuk dan mengikat menjadi lebih cepat dan masif serta lebih nampak. Di jaman dulu manusia, khususnya manusia Jawa sangat pelan-pelan dalam menggunakan tongkatnya, dengan unggah ungguh dan lain sebagainya perlahan-lahan mengidentifikasi sang liyan disekitarnya. Sekarang, sang liyan dan diri kita sendiri sudah lebih cepat menampakan identitasnya. Proses nunyuk dan mengikat lebih ditujukan kepada hal-hal yang lebih jauh dan makro sehingga semua orang selalu terlibat di sebuah narasi besar berskala nasional.
Pertanyaannya, apakah hal ini baik? Menurut saya sangat baik jika melihat dari sudut pandang perkembangan umat manusia. Ratusan ribu tahun manusia lebih banyak berkutat di tongkat dan tali untuk menyelesaikan masalah. Dengan semakin seringnya muncul konflik dalam penggunaan tongkat dan tali tentunya akan semakin mendorong manusia untuk menemukan jalan baru untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal yang unik dari manusia adalah setiap manusia tidak pernah secara eksklusif hanya memilih chaos atau harmony dan tidak juga memilih di tengah-tengahnya tetapi secara berubah-ubah mengambil jalan dan sudut pandang yang cocok untuk situasi tersebut. Contoh yang cukup menarik menurut saya adalah bagaimana semakin seringnya orang membuat perjanjian prenuptial (atau bahkan akad nikah secara umum) yang menurut saya adalah salah satu perwujudan dari pendangan manusia terhadap dunianya. Kita manusia tidak pernah mampu untuk benar-benar memahami sekitar kita, tidak seperti kaum Na’vi di film Avatar yang bisa menyatukan sistem syarafnya namun disisi lain, manusia terkuat pun masih merasa lemah jika harus dihadapkan dengan dunia sehingga dia merasa kehadiran sesorang atau sesuatu akan membuatnya lebih nyaman.
Evolusi sosial umat manusia telah membawa kita di titik ini, titik dimana pandangan kita tentang penggunaan tongkat dan tali untuk menghadapi dunia diuji sekali lagi. Apakah kita akan maju sebagai sebuah masyarakat yang lebih harmonis? Ataukah (salah satu dari) kita akan maju sebagai masyarakat yang berhasil mendominasi kelompok lain for greater good of course. Saya yakin kita pasti maju sebagai manusia, entah menuju apa yang saya belum tahu. We’ll see soon.