Lesson Learned: Kebahagiaan itu Dibuat bukan Dicari


True happiness comes in small moments of reflection, when you smile without realising why ~ Anonymous

Pada suatu hari saya sedang mengerjakan laporan riset dalam rangka hibah riset jurusan Ilmu Hubungan Internasional bersama dua teman saya yaitu Diwya Anindyacita (Nindya) dan Shiela Rizqia. Waktu itu kami mengerjakan laporan itu di rumah saya hingga larut malam, bahkan lebih dari jam 12. Kami sangat mengantuk dan capek ketika mengerjakan itu hingga tiba-tiba Nindya berkata, “wah segar rasanya sudah tidur empat jam”. Dia mengatakan itu dengan ekspresi yang benar-benar seperti orang yang tidak sedang kecapekan atau mengantuk. Waktu itu saya menganggap itu sesuatu yang lucu dan cukup menghibur… Hingga akhirnya saya menyadari sesuatu dari sikap seperti itu… Kebahagiaan itu dibuat bukan dicari…. 

Ya, kebahagiaan kita sendiri yang membuat. Kondisi kehidupan yang kita hadapi tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan tidak memiliki korelasi dengan apa yang kita terima, perlakuan orang lain terhadap kita, atau apapun yang berada di luar diri kita. Semuanya itu bergantung dengan perasaan yang kita buat sendiri, interpretasi kita terhadap apa yang menimpa kita.

Keyakinan kita bahwa kita bahagia adalah sesuatu yang sangat penting untuk kita sadari, hal ini mengingat fakta bahwa tidak semua yang kita inginkan terjadi. Bahkan, berdasarkan pengalaman saya, sebagian besar harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan. Permasalahannya adalah ketika harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan kita menganggap bahwa itu sesuatu yang buruk dan merasa tidak bahagia dengan itu. Sebagaimana ketika saya dan teman-teman saya mengerjakan laporan riset, kita berharap dapat selesai secepatnya, jam 10 malam. Tetapi kenyataan berkata lain, Nindya bisa saja mengumpat, marah, defect, atau menyalahkan saya dan Shiela karena tidak dapat bekerja lebih cepat. Tetapi tidak, dia membuat kebahagiaan dia sendiri, suatu hal yang pada akhirnya mendorong kita untuk dapat menyelesaikan laporan riset itu.

Dan cinta… orang menganggap cinta adalah sumber kebahagiaan… dan orang itu memang benar. Cinta adalah sumber kebahagiaan, dia seakan-akan memberi kita ruang yang lapang ketika kita berada di gang buntu yang sempit. Lalu apakah kehilangan cinta akan membuat kita tidak bahagia? Jawabannya iya, tetapi masalahnya adalah kehilangan cinta bukanlah sesuatu yang given tetapi itu adalah pilihan kita.

Ya, sebagaimana kebahagiaan, cinta juga merupakan sebuah pilihan… Kita memilih apakah akan menciptakan cinta atau berhenti mencintai. Dan sebenarnya tidak ada pilihan menunggu cinta itu datang.

Apapun yang terjadi, yang pasti saya akan membuat kebahagiaan ada dalam diri saya, dan selalu menambahkan kata “walau” dalam proses mencintai, bukan menambahkan kata “karena”….

A Letter from Computer-Geek (yeah it’s mee)


Seandainya saja hati manusia sesederhana sistem windows…

Tinggal kuketikan C:>attrib +l +o +v +e *.you agar kamu bisa mencintaiku

Atau jika aku malu, aku bisa gunakan anonymous proxy untuk mengucapkannya

Atau jika aku sudah ingin berhenti memikirkanmu aku tinggal memasukanmu dalam daftar firewall

Akan aku defragment hatimu setiap hari agar cintamu selalu stabil

Akan kutanamkan password yang kuat dalam hatimu sehingga tidak ada user baru yang bisa masuk ke sistem hatimu

Ketika aku ingin mengetahui apa yang kau inginkan, aku tinggal mengetik C:>netstat

Bahkan untuk mengetahui identitasmu yang paling akan kugunakan C:>ipconfig /all

 

Tapi aku tahu tidak terinstall windows di hatimu, bukan juga Linux, Unix, FreeBSD, OpenSolaris, atau bahkan Mac… Hatimu adalah lika liku yang lebih rumit daripada PHP SQL Injection, jauh lebih rumit dari menemukan kode binari dalam regedit

And all i can do is write this awfull blog…

Having Enemy


Bagaiamanakah rasanya mengetahui seseorang memusuhi kita?

Ini adalah sebuah pertanyaan yang muncul dalam benak saya ketika siang hari ini seorang teman saya menceritakan bahwa teman dekat saya yang saya kenal biasa-biasa dan tidak berkelakuan aneh ternyata (dikatakan) memiliki banyak musuh. Dan musuh itu muncul karena masalah yang sangat sederhana dan bahkan tidak diketahui teman saya tersebut.

Memang cukup sulit untuk mengetahui “daleman” hati seseorang, apalagi orang Indonesia yang memang cukup lihai dalam berbasa-basi-busuk. Tetapi yang lebih berbahaya adalah ketika setiap orang merasa sangat benar dan mudah untuk menjustifikasi sebuah permusuhan.

Kata orang, realitas itu ada tiga

 

  1. Realitas menurut orang lain
  2. Realitas menurut kita
  3. Realitas itu sendiri

 

Sangat sulit untuk mendapatkan realitas terutama realitas sosial yang sesungguhnya karena setiap kali kita melihat sebuah fenomena pasti sudah terdapat nilai-nilai yang kita pegang sebelumnya. Pergaulan kita atau bahasa kerennya intersubjektifitas kita juga mempengaruhi pandangan kita terhadap orang lain dan diri kita sendiri, atau bahasa kerennya self and others…. 

Entahlah, semoga semua orang hidup dalam damai…

Hikikomori


Terhitung sejak tanggal 22 Desember 2008, saya berada di rumah sendirian soalnya keluarga besar saya pada merayakan Natal di Jakarta. teermasuk Ibu dan adik saya.. nah karena sendirian itu dan kebanyakan anak-anak HI pada pulang kampung atau sibuk dengan tugas maka seharian penuh saya sering dirumah saja, ini juga karena memang saya disuruh jaga rumah dan lain sebagainya yang mengharuskan saya berada di rumah untuk beberapa waktu.

Di rumah Jogja, sarana hiburan yang paling sering saya gunakan adalah komputer yang kebetulan ada internetnya. Seharian saya berada di depan komputer, internetan atau kalau koneksi IM2 lagi nggak bagus (sangat sering terjadi) saya main game, apapun itu. Yang saya sadari kemudian adalah, saya merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini, dan yang saya takutkan adalah terjadinya fenomena Hikikomori atau yang dalam bahasa inggris artinya withdrawal.

Dalam wikipedia hikikomori diartikan

Although there are versions where the hikikomori may venture outdoors,the Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare defines hikikomori as individuals who refuse to leave their parents’ house, and isolate themselves from society in their homes for a period exceeding six months. While the severity of the phenomenon varies depending on the individual, some youths remain in isolation for years, or in rare cases, decades.

Tentu bukan hal seperti itu yang saya harapkan, dan sepertinya di Indonesia jarang sekali terjadi. Tetapi akhir-akhir ini banyak sekali orang yang membuat kehidupan barunya sendiri di dunia maya, saya belum pernah menemukan penelitiannya tetapi mungkin perlu dibuktikan apakah perkembangan koneksi internet berbanding terbalik dengan tingkat sosialisasi nyata antara masyarakat. Karena di dalam internet orang dapat membentuk identitas baru mereka ketika mereka merasa tidak begitu suka dengan identitas asli mereka di dunia nyata. Hal ini bisa dilihat dengan adanya orang yang memakai foto orang lain, menceritakan background atau profil fiktif dan lain sebagainya.

Semua orang pasti punya waktu senggang diantara kesibukan hidupnya, adanya internet bagi beberapa orang adalah media untuk meluangkan space hidupnya itu. Disinilah aspek yang cukup berbahaya karena seharusnya waktu luang digunakan untuk menjalin hubungan secara nyata, kenapa saya menekankan hubungan secara nyata? karena menurut saya, meskipun internet menyediakan jaringan sosial tetapi itu semua tidak nyata, dia bisa buatan dan kata-kata, aktifitas, dan perasaan yang dimunculkan belum tentu nyata. Hal ini bisa jadi akan membuat orang terlena karena dia dapat memilih identitas dirinya dan dengan siapa dia akan berinteraksi. Tentunya hal seperti ini jauh berbeda dengan dunia nyata dimana identitas tidak dapat begitu saja diubah dan kita dihadapkan

I Feel… I Fall…


Aku bahagia bersamamu… ada masalah memang, tetapi aku bahagia… demi dirimu akan kulakukan apapun agar kau tidak menjauhi aku… terima kasih…

*gambar hanya ilustrasi bukan yang sebenarnya