The Path of Non-Attachment


Hari ini, tanggal 13 Juni 2012, saya berkesempatan untuk pergi ke Vihara Mendut untuk mendokumentasikan pertemuan peserta USIPP dengan Biku di Vihara tersebut. Pada kesempatan itu pula saya mengajukan pertanyaan yang telah lama ada di benak saya yaitu apakah mereka sebagai Budhist merasa terganggu atau tidak suka dengan kenyataan bahwa Borobudur yang merupakan tempat yang penting bagi mereka dijadikan objek wisata.

Jawaban mereka adalah “tidak sama sekali”, jawaban ini sebenarnya sudah saya tebak tetapi kelanjutan cerita mereka yang cukup membuat saya terkejut adalah “Bahkan kami (para Biku) masih tetap harus membayar untuk masuk ke Borobudur, tetapi ya itu tidak masalah, karena itu tadi.. non-attachment.” Ya, non-attachment adalah salah satu konsep yang cukup sentral sekaligus membingungkan dalam agama Buddha. Blog ini sebenarnya saya tulis karena saya ingin mencoba memecahkan kebingungan saya. Karena sepanjang diskusi pihak Vihara Mendut selalu menggunakan istilah non-attachment maka saya tidak akan mentranslate itu ke bahasa Indonesia untuk saat ini.

Untuk memahami konsep non-attachment sebelumnya kita harus tahu konsep samsara atau suffering. Meski menggunakan bahasa yang mengerikan, suffering dalam agama Budha tidak berarti ketiadaan kenikmatan atau kehadiran luka, malah sebaliknya bias jadi kita mengalami suffering karena kenikmatan yang kita dapatkan atau luka yang kita hindari. Hal ini bisa terjadi karena ketika kita mendapatkan kenikmatan maka ketika kenikmatan itu hilang maka kita akan menderita, begitu juga ketika kita berhasil menghindari  masalah maka kita akan merasa sakit ketika masalah itu dating. Akhirnya, kita akan selalu dalam lingkaran tanpa akhir antara mencari kenikmatan dan menghindari masalah, itulah yang (menurut saya) dimaksud dengan samsara atau suffering.

Sebenarnya kita tidak diperintahkan secara rigid untuk keluar dari lingkaran itu, tetapi bagi yang ingin keluar dari lingkaran samsara, ajaran Budha menyediakan konsep non-attachment. Secara ringkas dasar pemikirannya adalah dengan tidak memiliki attachment terhadap benda atau ide tertentu maka hidup kita akan lebih mudah dan kita dapat keluar dari samsara.  Worrying about something you’ve lost is attachment. Jadi jika kita tidak pernah khawatir akan hilangnya sesuatu kita berhasil mencapai non-attachment.

Apakah jalan menuju kesana adalah melalui menjauhi diri dari hal duniawi dan manusia lain? Hal inilah yang sebenarnya dihindari oleh Sidharta Gautama. Dalam perjalanannya mencari jawaban hidup Sidharta Gautama bertemu dengan banyak pertapa yang mencoba untuk menjauhi hal duniawi dan interaksi dengan manusia lain untuk keluar dari lingkaran samsara. Saya jadi teringat salah satu kisah yang diceritakan dalam Kera Sakti yang membantu saya memahami konsep non-attachment.

Sidharta Gautama yang waktu itu belum menjadi Budha berjalan bersama seorang pertapa di sebuah hutan, dia belajar banyak dari dia dan ingin dia menjadi teman sekaligus gurunya. Tetapi suatu malam datanglah segerombolan serigala yang lapar dan mereka ingin memakan Sidharta dan kawannya, Sidharta naik ke pohon tetapi teman Sidharta malah mendekati serigala tersebut dan membiarkan mereka memakannya. Saya lupa apakah Sidharta diberi tahu oleh temannya sebelum dia dimakan atau dia menyadarinya sendiri, yang pasti setelah peristiwa tersebut Sidharta memahami bahwa non-attachment bukanlah pemisahan terhadap dunia tetapi sebaliknya, kita menyatu dengan dunia. Teman Sidharta menunjukan bahwa dia dan serigala bukanlah hal yang terpisah, mereka  tidak saling menguasai tetapi merupakan satu kesatuan. Sehingga ketika dia dimakan, sebenarnya dia sedang menyatu dengan serigala.

Contoh diatas mungkin sangat ekstrim, tetap itulah intinya. Ketika  kita masih menganggap badan jasmani kita dan dunia di luar badan kita adalah hal yang terpisah, maka kita akan tersiksa dalam usaha untuk mendapatkan atau menghindari hal yang ada di luar kita. Tetapi kita menyadari bahwa semuanya adalah satu, maka kita tidak perlu lagi merasakan kepedihan dalam mencari kenikmatan dan menghindari luka. Sebenarnya Muslim juga lebih memahami hal ini karena Allah juga mengingatkan kita bahwa “Innalillahi wainnailaihiroji’un”. Segala sesuatu adalah milik-Nya dan akan kembali kepada-Nya.