Pernahkah anda melihat sebuah barang di rumah anda dan kemudian berfikir, “Kenapa saya membeli ini?”. Jika iya, maka anda bukan satu-satunya orang yang berfikir seperti itu. Bahkan mungkin seluruh umat manusia di dunia ini pernah berfikir seperti itu. Penyebab utamanya tentunya adalah gencarnya berbagai macam iklan yang mendorong kita untuk semakin konsumtif.
Konsumerisme memiliki janji yang sama dengan cinta. Anda selalu berfikir membeli sesuatu adalah jawaban bagi semua problem kita, memiliki suatu barang akan membuat kita utuh kembali, mengisi ruang hampa dalam hidup kita, dan mengembalikan kita pada kondisi yang bahagia menurut imajinasi kita. Yang menjadi masalah adalah cinta lebih sering memenuhi janji tersebut daripada konsumerisme (kecuali jika angka perceraian semakin meningkat maka argumen saya invalid). Ketika kita mencintai seseorang, orang yang kita cintai selalu ingin memenuhi janjinya dengan mengisi ruang yang kosong dalam hati anda. Tetapi tidak dengan produsen serta agen iklan, mereka malah berusaha memproduksi kembali ruang kosong tersebut agar anda kembali membeli produk mereka.
Dulu Pat Kay (babi teman Sun Go Kong) selalu mengeluhkan tentang penderitaan cinta yang tiada akhir. Kalau Pat Kay masih hidup mungkin dia akan lebih mengeluhkan tentang hasrat konsumtif yang tiada akhir, pencarian tanpa ujung, pergerakan hasrat membeli yang tiada habisnya. Ya, hasrat.. hasrat adalah celah yang sering dieksploitasi oleh para pengiklan. Mereka tidak menciptakan hasrat karena hasrat sudah ada, built-in pada setiap diri manusia. Mereka hanya menekan tombol hasrat tersebut lalu pada saat yang sama menunjukan produk mereka. Hasrat yang sering dieksploitasi biasanya merupakan basic instinct manusia yaitu menghindari bahaya, seks, kelanjutan keturunan, serta makanan. Menurut Marcuse dalam diri manusia modern terdapat satu lagi hasrat yaitu untuk menjadi jenis orang tertentu. Inilah yang semakin sering dieksploitasi dan semakin lama menjadi sebuah kenormalan. Jika anda ingin menjadi eksekutif muda, anda harus mengenakan pakaian dengan merek tertentu dengan menggunakan smartphone dan makan siang di mall dan suka dengan es krim tertentu. Bahkan jika anda ingin menjadi seseorang yang anti kemapanan, anda harus mengikuti kemapanan tertentu dalam bergaya.
Tetapi yang paling menyedihkan bagi saya adalah dengan semakin majunya teknologi informasi ternyata malah berdampak terhadap berkurangnya kemauan manusia untuk mengerti dan mengeksplorasi berbagai hal yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Disini saya mengatakan kemauan karena sebenernya kemampuan untuk itu semakin bertambah, tetapi kemudahan mendapatkan informasi malah membuat kita enggan untuk berfikir lebih dalam dan take anything for granted. Ketika sebagian orang mengatakan keripik rasa A enak maka tiba-tiba semua orang melakukan hal yang sama.
Kejahatan iklan dan konsumerisme terlihat pada industri rokok, dimana sebuah barang yang tidak ada manfaatnya dikemas dengan iklan yang cerdas, SPG yang seksi, disertai event-event yang berkaitan dengan gaya hidup target pasar misal rokok buat orang desa sangat sering mensponsori dangdutan atau reli motor sedangkan untuk kaum urban sering pada acara dugem atau pameran mobil. Disini terlihat bahwa benda yang sebenarnya tidak ada gunanya bisa dicantolkan dengan identitas tertentu begitu saja.
Konsumerisme mungkin telah menjadi fitur dari peradaban modern, sebuah usaha untuk mengkonversi kebahagiaan menjadi sebuah barang hingga dapat dibeli dengan uang. Sulit untuk mengatakan bahwa konsumerisme ini merugikan bagi manusia, karena kita telah sampai pada level dimana kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Meski itu adalah kebahagiaan yang sementara dan mungkin kurang bermakna tetapi bagaimanapun juga jauh lebih mudah untuk mendapatkan kebahagiaan dengan uang daripada harus mengorbankan waktu dan pikiran yang pada manusia modern sudah habis terpakai untuk bekerja. Kesimpulannya konsumerisme sebagaimana cinta, memiliki tendensi untuk buta. Semakin buta maka semakin menantang dan menyenangkan.